Senang baca novel chick lit? Tentu tahu dong dengan nama Icha Rahmanti yang barusan merilis novel chick lit-nya ke-2 yang berjudul “Beauty Case”. Nah, usai acara Drive n Jive BookAholic with Icha Rahmanti di Surabaya belum lama ini, Benny Chandra dari Sembarang.com berhasil ‘membajak’ Icha untuk diajak ngobrol bareng. Dan inilah petikannya…

Ben (SEMBARANG.COM): Kenapa Icha Rahmanti dan bukan Nisha Rahmanti?
Icha: Icha Rahmanti itu sebenarnya nama siaranku di Bandung. Trus, pas nawarin buku, aku mikirnya bukuku itu kan garis besarnya adalah popular fiction gitu dan sebenarnya pengen bukunya pengen jadi teman. Good companion. Nah, nama Icha itu lebih akrab gitu daripada Nisha. Kalo Nisha kan rasanya formal banget. Icha itu juga nama panggilanku di radio. Biar lebih akrab dan jadi teman.

Ben (SEMBARANG.COM): Soal Friendster. Di Friendster, account kamu hanya satu atau ada berapa?
Icha: Ada beberapa. Kalo account yang Chicklit Indonesia sudah ada 3, kalo yang pribadi ada tiga juga. Jadi ada enam. Yang terakhir ini baru banget. Temannya juga baru 100an.

Icha

Ben (SEMBARANG.COM): Untuk masing-masing buku apakah ada account Friendster-nya sendiri?
Icha: Gak sih. Aku lebih ngambil tema Chicklit Indonesia sebagai payung besarnya. Bukan per buku, karena akan ribet. Tujuan ke depannya pengen genre ini berkembang di Indonesia gitu. Jadi, buku-buku itu sebagai bagian dari Chicklit Indonesia. Makanya yang aku tonjolin juga logo Chicklit Indonesia-nya.

Ben (SEMBARANG.COM): Ada pengaruh gak adanya account di Friendster itu terhadap kepopuleran buku kamu?
Icha: Sebetulnya sih Friendster itu lebih banyak manfaatnya. Suatu saat aku pengen ngelibatin yang baca. Aku pengen orang-orang ngirimin foto. (Info itu) aku sebarin melalui bulletin board. Ternyata banyak banget responnya. Senang aja. Benar-benar interaktif secara luas lewat dunia maya. Menyenangkan banget. Account di Friendster itu lebih ke arah pembentukan komunitas dulu, sense of belonging. Kalo di komunitas posisinya ‘kan equals, bukan dari produsen ke konsumen. Kita sama-sama teman.

Ben (SEMBARANG.COM): Ada yang bilang kalo ber-Friendster itu norak. Setuju gak?
Icha: Gak! Aku pikir aku gak setuju, karena justru sekarang itu eranya informasi dan network. Jadi, ketika kita bisa membuat network sebanyak mungkin di dunia maya, it’s very good idea, it’s great, dan potential. Potensinya besar gitu. Itu mungkin (pendapat dari) orang-orang yang selalu mencari counter akan sesuatu hal yang lagi booming. Friendster ‘kan mau gak mau kemarin booming banget dan akhirnya ada orang-orang yang entah kenapa selalu memposisikan diri jadi oposisi, jadi oposan. Sama aja ketika waktu semua orang pakai handphone, ada toh satu dua orang yang akhirnya bilang saya gak mau pakai handphone dengan alasan yang entah kenapa.

Ben (SEMBARANG.COM): Seberapa penting sih testimonial di Friendster buat kamu?
Icha: Sebenarnya testimonial itu, buat aku pribadi, pentingnya terasa ketika aku menemui tidak semua orang approve dengan ide chick lit. Ketika aku lagi down, (mikir) bener gak sih yang gw kerjain kayak gitu, dengan testimonial itu ternyata yang gw lakuin ada yang apresiasi. Ada yang membikin semangat buat nulis dan keep on the track yang pengen gw tuju gitu. Itu buat personal. Kalo buat selling tentunya ada juga. Ketimbang iklan, lebih ampuh komentar orang yang udah baca. Karena itu ‘kan komunitas. Ah gw udah baca ini, aku jadi cerita teman. Misalnya aku cerita ke Mas Benny, eh ini seru banget nih kameranya.. lebih enak dari ini.. lebih praktis. Kayak gitu ‘kan lebih enak dari baca iklan. (Dalam hal ini) Aku dalam posisi produsen yang beriklan.

Ben (SEMBARANG.COM): Dalam buku “Beauty Case” ada halaman yang layoutnya mirip dengan halaman testimonial Friendster. Sengaja atau?
Icha: Sengaja. Karena buku chick lit-ku itu ngambil potret-potret kehidupan urban sekarang dan Friendster itu so today gitu. Dan aku pengen variasi baru. Sebenarnya gini, ketika baca buku yang isinya tulisan semua, kecenderungan jenuhnya kan tinggi. Jadi aku butuh layout yang bikin mata dimanjain dengan ide-ide baru. Misalnya kayak ada sisipan berwarna yang kayak layout di majalah, bentuk testimonial Friendster itu. Jadi ada suatu perbedaan yang point-nya dapat dan matapun dimanjakan dengan suatu yang berbeda gitu. Kalo aku bisa, mungkin aku bikin gambar apa gitu, tapi aku gak bisa. Lucu aja pake ide (ala layout) Friendster.

Ben (SEMBARANG.COM): Dan variasi kayak gitu baru dimulai pada buku kedua ini?
Icha: Iya, di buku pertama lebih main kayak format sms gitu dan buku kedua ini kebetulan kalo aku masukin gaya Friendster itu masuk. Karena ‘kan gini, orang bikin testimonial di Friendster kadang-kadang adalah buat ngebuzz rasa percaya diri. Yang kedua, karena pengen exist di Friendster dengan mengisi testimonial. Lucu-lucuan aja.

Ben (SEMBARANG.COM): Bagaimana dengan testimonial yang mengenai bukunya Icha yang dimuat di sampul belakang buku? Penting?
Icha: Itu penting. karena sekali lagi aku tuh kalau dihitung di dunia menulis kan masih baru banget gitu kan jadi lagi-lagi aku ngerasa butuh diperkenalkan dengan orang-orang yang bergerak di bidang pop culture juga.

Ben (SEMBARANG.COM): Tapi kan sekarang udah buku kedua dan buku pertama sukses…
Icha: Mikirnya gini aja sih. Kalo di buku pertama, jelas penting banget ‘kan ya.. Aku butuh diperkenalkan sama orang-orang itu, yang boleh dibilang leading opinion di pop culture. Buat buku kedua, aku gak pengen terlena. Karena udah merasa kemarin bukunya berhasil trus aku gak butuh komentar-komentar. Padahal kalo buat aku itu penting. Untuk marketing itu (juga) penting. Aku gak mau takabur. (Testimonial) Tetap harus ada. Dari mereka itupula sebenarnya aku mendapat masukan banyak. Mereka bukan cuma baca doang, tetapi mereka juga ikuti prosesnya sampai ngasih masukan segala macam ini itu.

Ben (SEMBARANG.COM): Menggunakan testimonial akan berlanjut ke buku selanjutnya?
Icha: Iya! Selalu. Buat saya penting soalnya buat aku itu salah satu alat marketing. Mungkin yang berbeda adalah siapa yang memberikan testimonial. Yang kedua ini lebih luas. Aku mengajak teman-temanku yang memang pembaca karyaku. Ada yang blogger, ada yang desainer grafis. Mungkin yang ketiga nanti malah dari teman-teman dekat, keluarga. Pokoknya buat aku itu masih penting.

Ben (SEMBARANG.COM): Ada efeknya untuk penjualan?
Icha: Tentunya ada.

Ben (SEMBARANG.COM): Oh ya, kabarnya ada niat bikin novel dengan setting yang berkaitan dengan kerjaan Icha di radio. Kapan tuh?
Icha: Belum tahu kapan. Tapi pasti ada. So far sih baru dimasukin dikit-dikit aja. Kemarin-kemarin itu ada ide buat menulis tentang sesuatu yang mungkin setting-nya bisa tentang dunia radio tapi kalo dipikir-pikir isu premisnya gak terlalu kuat jadi malah bisa dicombine dengan yang lain. Bagi aku akhirnya lebih cocok atau gak dengan tema yang aku angkat. Misalnya ketika aku pengen ngangkat dunia radio sebenarnya yang pengen aku angkat itu adalah tentang permisifnya kita sama kata-kata. Tapi ketika isu ini diangkat, cukup kuat gak sih jadi sebuah buku? Mungkin ia bisa bagus hanya sebagai sisipan doang, satu tema doang di bab atau chapter tertentu gitu. Akhirnya (ide itu) gugur. Ketika harus radio, kenapa harus radio. Mungkin aku malah cari yang lebih apa ya.. hmm… Aku jadi tahu lagi satu hal yang aku belum tahu gitu. Jadi (yang) nambah point plus. Biar aku bisa belajar.

Ben (SEMBARANG.COM): Soal slogan “Chick lit asli Indonesia pertama” yang kamu usung, emangnya ada chick lit yang gak asli?
Icha: Itu sebenarnya gini. Label itu ada.. Aku ngeliatnya gini, sebelum aku ngeluarin buku mungkin sudah ada penulis Indonesia yang menulis dengan gaya chick lit tapi nanggung. jadi buat aku, aku pengen menajamkan market aku di genre chick lit karena aku liat potensi pasarnya ada. sayang kalo nanggung gitu. Kita butuh identity itu untuk untuk positioning di market juga. Dan ketika itu keluar, sebenarnya keuntungan buat saya adalah akhirnya menjadi pionir di situ gituloh dan tidak tanggung. Marketing gimmick banget gitu. Mudah-mudahan sih akhirnya chick lit identik sama Icha. Pengennya seperti itu. Kalo pun misalnya nulis yang lain, sastra misalnya, Mbak Jenar sudah ada, Mbak Ayu udah ada dan akupun tidak menulis dengan gaya mereka. Gayanya sangat berbeda. Kedua, kenapa aku milih genre chicklit itu karena aku gemes pas baca chick lit luar. Suka sih suka tapi gemes. Aduh, kita juga banyak cerita nih. Cerita kita pun banyak yang bisa diangkat. Keunikan tiap local inside tiap kota yang berbeda-beda bisa jadi settingnya. Mudah-mudahan sih bisa support local literating movement-nya. Mudah-mudahan sih penjualannya bisa bersaing dengan chick lit luar. Tapi kalo belum bisa, paling gak jadi alternatif.

Ben (SEMBARANG.COM): Ada gak ciri yang sudah disepakati?
Icha: Ciri-cirinya sih.. hmmm.. kita belum sampai ke omongan seperti itu. Yang jelas sih mungkin gaya bertutur kita masih pake pakem yang emang dari asalnya genre ini ada ya. Yaitu, bertutur dengan gaya bahasa sehari-hari, topik-topiknya perempuan di perkotaan, penulisnya perempuan, tokohnya perempuan. Jadi pakai pakem itu dulu sementara kita mencari bentuk kira-kira seperti apa chick lit Indonesia. Setidaknya kita mengangkat potret-potret dululah sekarang yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia, kehidupan perempuan-perempuan indonesia perkotaan gitu. Itu dulu. Gak bisa sesumbar dulu. Intinya aku banyak PR. Dan mudah-mudahan akunya bisa konsisten di genre ini.

Ben (SEMBARANG.COM): Ada chick lit, ada lad lit. Menurut Icha bagaimana perkembangan lad lit di Indonesia?
Icha: Yang aku tahu belum ada juga yang menseriusi genre ini sebagai identity and marketing juga. Belum ada. Akhirnya bias semuanya. Temen aku sendiri, Adhitya Mulya, setahu aku buku dia ngambil genre komedi bukan lad lit. Mungkin lad lit, tapi lebih spesifik lagi komedi. Karena buku-bukunya selalu lucu gitu kan. Yang lain aku gak tahu. Blon bisa bilang arahnya ke mana. Blon ada yang berani mengidentifikasikan bukunya itu (lad lit) dan akhirnya serius di situ.

Ben (SEMBARANG.COM): Prospeknya gimana?
Icha: Prospeknya sebenarnya sama kayak chick lit. tinggal orang-orang yang mau menulis di situnya ada apa gak. Kalo buat Indonesia setahu aku sih sebenarnya kalo dari kehidupan cowok-cowok yang ada di kota besar, itu sangat menarik. Sebenarnya banyak sekali yang bisa diangkat. Potensi untuk jadi sebuah genre stabil juga gede. Isu-isu cowok itu banyak. Kayak ada temanku mau bekerja jadi news presenter. Trus dia bilang gini,”Gila ya.. gw capek deh saingan sama cewek-cewek. Pasti yang dipilih tampang lagi tampang lagi, trus cewek lagi cewek lagi yang dapat buat jadi news presnter”. Ternyata sudah terjadi, di beberapa kerjaan itu cowok stres dengan posisi perempuan sekarang. Dan itu sebenarnya akan menarik kalo dibicarakan sama cowok. Trus, misalnya soal gaji pasangan yang lebih gede dari dia. Menarik banget dah. Justru aku bilang materinya banyak. Mungkin Mas Benny mau? Entar kasihin ke Gagas ya?! he he he…

Ben (SEMBARANG.COM): Btw, kayaknya icha punya blog ya?
Icha: Aku sempat punya, tapi jujur aku not a very good blogger, karena waktu itu sampai berapa kali diajarin, aku kapok gara-gara gak pernah sukses bikin layout yang aku pengenin. Aku nyebutnya, sori, ini bahasa setan. Aku buta banget (soal) komputer. Cuma buat ngetik, ngerjain tugas, sisanya kalo udah berhubungan dengan bahasa-bahasa komputer, buat aku, itu bahasa setan yang aku gak ngerti. Waktu itu diajarin, kalo lo mo masang ini, copy paste gini, trus lo masukin ini. Pokoknya aku udah patuhi semua, pas diposting.. kok jelek ya? Akhirnya aku jadi malas. Isi juga penting, tapi pengennya layout-nya pengen enak dilihat dong. Ini lagi-lagi ‘kan masalah visual supaya orang mau baca blogku, harus enak dilihat gitu. Ketika itu gagal, aku ngelihat aja sebel apalagi orang lain. Sampai akhirnya aku ditawarin sama teman-temanku untuk membikin website personal dan buat aku itu lebih enak. Akhirnya mereka bantuin hosting segala macam dan aku tinggal ngasih tulisan gw. Aku lebih fokus ke tulisannya sendiri. Gituloh.. Buat aku itu lebih fleksibel. Kalo Friendster aku masih bisa handle sendiri di rumah. Tapi ketika aku tambahin lagi blog, masa online itu akan panjang banget dan aku jujur gak punya asisten untuk itu. Aku selalu pengen balas e-mail sendiri. Aku benar-benar tahu cerita orang-orang. Jadi, win-win solution buat aku adalah personal website di mana aku lebih fokus ke tulisannya. Justru sebenarnya aku pengen punya blog deep down inside cuma gak tahu kapan waktunya. Sempet atau gak. Suka sirik banget liat blog orang yang bisa bagus, bisa begini… Cuma, sudahlah.. emang waktunya gak ada.

Ben (SEMBARANG.COM): Icha ‘kan senang dengan Enid Blyton dan Alfred Hitchcock, ada pengaruhnya gak pas nulis chick lit?
Icha: Hm.. mungkin gak banyak ya. Pengen banget sih ke depan menulis.. kalo di luar itu kan chick lit udah ada chick lit misteri, thriller, yang kayak-kayak gitu.. Maybe itu suatu variasi ke depan.. cuman belum ke sana deh.. mungkin kalo udah buku ke sekian baru mulai pindah ke chick lit misteri.

Ben (SEMBARANG.COM): Ada pengaruh dari pengarang lain?
Icha: Dari dulu sebelum nulis chick lit, aku senang banget Sex n the City. and I really love the way Bushnell menciptakan tokoh Carrie. Itu mempengaruhi aku. Mungkin akan kelihatan di “Beauty Case” itu lebih di kolom-kolom essay yang aku bikin. Itu sebenarnya adalah tulisan tabungan long time ago before “Beauty Case” jadi. Dan ketika “Beauty Case” ada dan ide-ide ini bisa masuk, akhirnya dicari paralelnya dan dapat malah senang banget.

Ben (SEMBARANG.COM): Eh, Icha ke Surabaya naik kereta ya? Kenapa nih? Phobia pesawat? he he he
Icha: Gak! Gak! Kenapa gak pesawat? Karena apa ya? Soalnya aku dapat teman jalan. Naik kereta menyenangkan. Sebenarnya perginya nyantai, justru mungkin pulangnya akan naik pesawat karena Selasanya harus ke Jakarta. Aku toh lagi santai, gak buru-buru. Waktu kecilpun kalo dari Bandung ke Surabaya selalu naik kereta.